Etika dalam Sepetak Layar
Marketing yang baik, seperti kata orang bijak, bukan soal menjual barang, tetapi soal menjaga kepercayaan. Ia bukan semata perkara angka dan grafik pertumbuhan, melainkan seni bernegosiasi dengan nurani. Namun, di zaman ketika semua bisa dihitung dengan klik dan dijangkau oleh algoritma, kita mulai melupakan satu hal paling mendasar: rasa hormat! (dengan tanda seru)
Kita terlalu sibuk menjual hingga lupa bagaimana cara menyapa. Kita terlalu ingin cepat dikenal, sampai tak sadar masuk ke ruang orang lain tanpa salam. Mengambil data yang bukan hak, menyebar pesan yang tak diminta, dan menyaru dalam bentuk-bentuk yang bahkan 'memanipulasi'. Seolah-olah privasi bisa dinegosiasikan.
Padahal, jika kita menengok sejarah, dakwah Rasulullah ﷺ di awal kenabiannya adalah contoh paling luhur tentang bagaimana memperkenalkan sesuatu yang besar—dengan kejujuran, tanpa paksaan, dan dengan penghormatan penuh pada akal dan hati manusia.
Nabi ﷺ memulai dakwahnya bukan dengan teriakan, melainkan dengan keteladanan. Ia tidak langsung naik ke bukit dan menyuruh semua orang percaya. Ia memulai dari orang-orang terdekat, dengan akhlak, dengan cinta, dengan kejujuran yang sudah puluhan tahun dikenal. Rasul tidak menjual mimpi "palsu", tidak membesar-besarkan janji dunia. Ia tidak pernah menyeret nama-nama besar untuk membuat dakwahnya tampak keren. Ia tidak meminjam _basis data_ dari kabilah lain, tidak menyisipkan pesan tersembunyi di sela-sela dagangan.
Apa yang ia lakukan? Ia hadir sebagai pribadi yang bisa dipercaya. Al-Amin. Bahkan sebelum risalah datang, ia sudah menanamkan dasar utama dari marketing yang sejati: Trust (kepercayaan!) dengan tanda seru.
Ketika ia berdiri di Bukit Shafa dan berkata, “Jika aku katakan ada pasukan di balik bukit, apakah kalian akan percaya?” Semua orang menjawab, “Ya, karena engkau adalah orang yg paling jujur”
Inilah marketing yang paling murni: integritas
Hari ini, banyak yang menawarkan perubahan hidup dengan pesan broadcast. Tapi tak satu pun dari mereka dikenal sebelumnya oleh yang diajak bicara. Banyak yang mengaku bisa menyembuhkan persoalan, tapi merekanya sendiri tidak pernah benar-benar dikenal sebagai solusi. Dan yang lebih menyedihkan, banyak yang menyebar hoax atau mengotak-atik emosi dan bahkan memanfaatkan circle terdekatnya.
Padahal marketing sejatinya adalah percakapan. Dan dalam percakapan yang baik, yg ada adalah Kejujuran. Tidak ada data yang dicuri. Tidak ada privasi yang dilanggar. Jika sebuah brand tak mampu berdiri di atas kejujuran, maka produk yang dijual tak lebih dari ilusi.
Kita hidup di zaman kecepatan, dan dalam kecepatan itu banyak yang tergelincir. Mereka yang haus penjualan cepat mulai tergoda membungkus pesan dengan 'tipuan'. Melupakan bahwa konsumen bukan sekadar “target market”, melainkan manusia, dengan hak untuk memilih, untuk tahu, untuk tidak dikecoh.
Maka marketing yang baik harus kembali pada yang sederhana: berkata apa adanya, meminta izin sebelum masuk, dan menolak bermain dengan ketakutan. Ia tidak membangun dari kebohongan, tidak berdiri di atas data hasil curian. Ia adalah seni mencipta ketertarikan dengan kejujuran, bukan manipulasi.
Rasulullah ﷺ tidak pernah menjual Islam. Ia memperkenalkannya. Ia hidup bersamanya. Dan orang-orang datang, satu per satu, karena mereka melihat sesuatu yang utuh—bukan sekadar janji, tapi kebenaran yang bersinar lewat sikap.
Marketing yang baik, barangkali, memang tidak selalu menghasilkan viralitas. Tapi ia akan membangun kepercayaan. Dan ketika kepercayaan itu tumbuh, ia menjadi akar yang kokoh.
Sebab kepercayaan tidak dijual. Ia dibangun. Dengan kesabaran, dengan penghormatan, dan dengan keberanian untuk tetap jujur—sekalipun dunia di sekitarnya makin gaduh.
Masih terus belajar utk tambah baik,
Fakhry