“Abi, Hima cemberut saja, nih,” ujar Kakak Fathiya di ruang atas. Saya segera naik dan langsung menuju kamarnya. Hima, anak saya yang keempat, sedang ketakutan. Kedua tangannya digenggam erat di dekat mulutnya. Seperti kata kakaknya, mulut Hima terlihat sedang cemberut. Namun, cemberutnya kali ini bukan karena sedang merajuk, melainkan karena ia merasa ketakutan. “Hima, ada apa? Kok, ketakutan sekali?” tanya saya.

“Aku enggak bisa tidur, Bi. Ingat iklan film tadi,” sahutnya terbata-bata.

Oh, saya tahu penyebabnya. Anak saya yang masih duduk di kelas 1 SD ini, melihat iklan film horor, dan terbawa sampai ke rumah. Padahal, durasi tayang iklan itu singkat sekali, tetapi, ya begitulah. Anak seumuran Hima masih belum mampu mencerna apakah itu sebuah realitas atau hanya rekaan?

Malam itu, saya memang sedang family time. Istri saya membujuk saya agar meluangkan waktu spesial, “Bi, malam ini, kita ngedate, yuk. Nonton film ‘Bunda Cinta 2 Kodi’, mau?” tanya istri saya melalui WhatsApp. Saya langsung menjawab tanpa berpikir lagi, “Ayo.”

Ya, mereka sedang memiliki hak yang kuat atas saya. Segera saja istri saya memesan tiket dan mengatur semuanya. Kami datang tepat waktu, pukul 19.00. Saya berpikir bahwa film akan langsung dimulai, tetapi ternyata ada berbagai iklan terlebih dulu. Jadilah kami terpaksa menonton iklan beberapa film yang coming soon.

Saya tidak tahu bahwa akan ada iklan. Maklum, bioskop memang bukan dunia kami. Hanya jika filmnya dipastikan film terbaik dan islami, baru kami berkorban datang ke bioskop. Apalagi, film “Bunda Cinta 2 Kodi” (BCDK) ini dibuat oleh seorang anak muda kreatif, yakni Rendy Saputra. Saya pun yakin bahwa film ini pasti bermanfaat untuk kami.

Beberapa iklan yang ditampilkan tampak masih oke. Tibalah di satu iklan film horor. “Wah, ada iklan film begini ...,” batin saya. Segera saya instruksikan agar ketiga anak saya yang ikut menonton menutup mata. Mata mereka memang ditutup, tetapi telinga mereka tidak. Sementara ... banyak teriakan dan sound effect mengerikan yang tetap saja terdengar. 

Saya berdoa dalam hati agar iklan itu segera berlalu. Namun, iklan film itu “nyangkut” di memori Hima.

Inilah yang membuatnya tidak bisa tidur. “Kan, tadi, Abi minta Kak Hima untuk tutup mata. Kakak nutup mata, enggak?” tanya saya. “Iya, tadi aku nutup mata, tetapi sempat ngintip dikit,” jawab Hima masih terbata-bata. Mata saya persis di depan matanya, sambil mengukur tingkat ketakutannya. Ternyata ketakutannya sangat dalam. Wah, benar-benar film horor ini telah memengaruhi jiwa Hima. Padahal, hanya iklan. 

“Ya sudah, sekarang, Hima wudu, ya. Salat Isya. Setelah itu, buka Al-Qur’an pakai Garpu Tala, ya Nak,” pinta saya. Ini termasuk salah satu hal yang sangat saya tidak sukai jika menonton ke bioskop. Salat jadi “nabrak” begini. Akhirnya, saya meminta ampun kepada Allah. 

Saya mengambil pilihan mengakhirkan shalat untuk menyelesaikan hak saya. Semoga Allah mengampuni saya.

“Ini, Bi, Al-Qur’annya,” ujar Hima setelah selesai shalat.

“Oke, ikuti kata-kata Abi, ya Nak,” pinta saya.

Ya Allah .... Ya Allah ....

Aku tadi melihat .... Aku tadi melihat ....

Iklan film horor .... Iklan film horor ....


Begitu seterusnya, Hima mengikuti kata-kata saya. “Ya Allah, aku tadi melihat iklan film horor, enggak sengaja, tetapi aku jadi takut. Malam ini, aku enggak bisa tidur. Mohon titipkanlah kepadaku, satu ayat yang bisa membuatku tenang. Hanya dengan satu ayat-Mu, ya Allah, aku berharap.” Begitulah desain self-talk yang saya lakukan kepada Hima. Kemudian, ditutup dengan membaca Surah Al-Fatihah.

Dibukalah lembaran Al-Qur’an oleh Hima, dan saya menikmati proses ini sebagai interaksinya dengan Al-Qur’an. Terbukalah Surah An-Nahl Ayat 6, “Dan, kamu memperoleh pandangan yang indah padanya ketika kamu membawanya kembali ke kandang, dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.”

Saya langsung menggunakan ayat tersebut sebagai alat reframing untuk kejadian yang telah dialami Hima. “Wah, keren banget, ya Kak. Allah telah menghibur Kakak, nih,” ujar saya.

“Kamu memperoleh pandangan yang indah, ini artinya Kakak sudah diberi ayat yang indah oleh Allah. Al-Qur’an memang sebaik-baik tontonan. Iya, kan, Kak?

“Kamu membawanya kembali ke kandang, ini artinya Kakak menyerahkan semua yang Kakak lihat tadi, dan mengembalikannya kepada Al-Qur’an sebagai ‘kandang’ dari semua tontonan itu.

“Kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan, ini artinya Kakak diminta melepaskan dan segera tidur, Allah akan bantu Kakak nanti,” ujar saya.

Hima mendengarkan perkataan saya dengan saksama. Saya memberikan sugesti bahwa ini adalah jawaban dari Allah, karena ia yang langsung membuka Al-Qur’an, bukan saya. Jadi, pastilah benar adanya.

Kemudian, saya memberikan skala nilai kepada Hima, “Antara nol sampai sepuluh, berapa skor rasa takut Kakak tadi kalau sepuluh adalah skor untuk yang paling takut.” Saya menggunakan skala untuk mempermudah saya mengukur.

“Tadi, sepuluh,” jawab Hima.

“Terus, setelah membaca ayat ini, berapa skor rasa takut Hima?” tanya saya.

“Sudah nol, Bi,” jawabnya yakin.

Alhamdulillah, saya langsung memeluknya dan membawanya ke pembaringan. Saya membolehkan Hima tidur bersama saya malam ini. Dalam pelukan, saya memintanya membacakan, “Wa lakum fiiha .... Wa lakum fiiha .... Jamaalun .... Jamaalun .... Hiina .... Hiina .... Turiihuuna .... Turiihuuna .... Wa hiina .... Wa Hiina .... Tasrohuun .... Tasrohuun ...,” berkali-kali sampai saya tidak lagi mendengar sahutannya.

Hima tidur dengan indah. 

Ia membawa Al-Qur’an dalam hatinya. Batin saya berdoa tulus untuknya .... “Semoga engkau menikmati Al-Qur’an, ya Nak. Ia adalah imam bagimu. Ia adalah penuntun jalanmu. Ia adalah pandangan terbaik dalam hidupmu. Pegang ... pegang ... pegang erat ... sampai kau tidur indah ... di pangkuan Rabb-mu ....”

 (Salah satu kisah dalam buku “Diary Garpu Tala” karya Nasrullah)